Feb 18, 2012

:')

Peristiwa itu masih sering terlintas dibenakku. 2 tahun silam, saat dokter memvonis ku bahwa aku menderita kanker. Kau tahu apa yang pertama kali terlintas dipikiranku? Bukan. Bukan kematian. Tetapi yang paling aku takuti yaitu meninggalkan Dia.

Apa kau tau betapa sabarnya Ia? 8 tahun kami menunggu kedatangan seorang anak, berbagai jalan sudah kami tempuh, biayapun sudah terkuras habis. Tapi hasilnya tetap nihil. Dan herannya lagi masih saja dia dapat tersenyum. Sekarang begitu dia tahu aku terkena kanker, dia menggengam tanganku begitu erat,

“Berapapun akan saya bayar, asalkan dia bisa sembuh seperti dulu. Hanya dia satu-satunya yang saya miliki,” ujarnya kepada dokter.

Keluarga kami bukanlah keluarga kalangan atas, yang bisa setiap saat mengeluarkan uang. Suamiku hanyalah seorang pegawai biasa. Untuk itu kami harus pandai-pandai menabung. Masih sungguh kuingat ketika ulang tahun pernikahanku dia membelikan aku sebuah kalung emas berbentuk hati. Itu adalah jerih payahnya selama dua tahun dalam menabung.

Proses yang kulalui tidaklah mudah. Kemoterapi, obat-obatan yang membuat seisi tubuhku serasa terbakar, suntikan-suntikan yang membekas dikulitku. Aku ingin sekali menyerah. Dia begitu setia menemaniku, tersenyum dan tidak sedikitpun memperlihatkan rasa kesedihan. Tangannya tetap berada dalam genggamanku.

“Coba saja posisimu bisa kutukar. Biar aku saja yang merasakan sakitnya,” ujarnya membelai kepalaku setelah selesai kemo.

Dia menyadari rambutku mulai terlihat jarang karena banyak sekali helaian rambut yang rontok. Sungguh aku sudah berusaha menahan sekuat tenaga untuk tidak menangis.

“Hey, mengapa kamu menangis? Kau tetap kelihatan cantik. Bukankah kita telah berjanji untuk melewati masalah apapun secara bersama-sama? Benar bukan?.”

Dia mencium keningku dan sesekali tersenyum. Entah mengapa melihatnya begini membuat ku ingin berteriak sekencang mungkin, mengapa ini tidak adil? Dia begitu baik untukku.

Suatu malam aku melihatnya sibuk didepan komputer, sesekali mengangkat telfon.

“Apa yang sedang kau lakukan?.”

“Hanya lembur. Ayo cepat tidur, besok pagi akan kubuatkan sarapan yang enak untukmu,” ujarnya sambil tersenyum.

Kau tahu betapa sakitnya aku ketika dokter memvonisku bahwa stadium kankerku naik menjadi 3? Itu adalah pukulan yang hebat. Dengan ini akan semakin banyak biaya yang keluar. Mengingat bahwa suamiku adalah karyawan biasa, kami pasti tak akan mampu. Kemoterapi harus tetap berjalan, obat-obatan itu harus tetap kuminum, satu-satunya alasanku untuk hidup adalah…untuk membahagiakan dia. Setidaknya sekali saja.

Siang itu dia meminta kalung yang pernah ia berikan kepada ku sebagai hadiah ulang tahun pernikahan beberapa tahun lalu. Kali ini dia bersujud didepanku,

“Aku akan mengembalikannya. Sungguh. Aku berjanji aku akan mengembalikannya.” Muka nya begitu penuh dengan penyesalan.

Aku tahu gajinya belum turun selama 2 bulan, entah ada masalah apa didalam kantor tempat ia bekerja. Ia begitu gigih, dia tahu dan sangat yakin demi kesembuhan ku.

Terimkasih sayang. Engkau telah merelakan seumur hidupmu untuk menjalani kehidupan yang baru bersamaku. Aku tahu bahwa bersamaku tidak akan ada selalu bahagia. Dan kini kita sedang melewati terjal yang paling besar. Istriku yang sangat kucinta, mau bagaimanapun nanti aku tidak perduli. Yang aku tahu, selama kau masih milikku dan bersamaku, itulah alasan mengapa aku bahagia dan terus berjuang agar kau sembuh. Teruslah berjuang, berjanjilah kau akan tetap bertahan, dengan begini aku juga akan berjanji untuk tetap setia membahagiakanmu, ini janjiku,” itulah surat yang ia tuliskan di samping meja tempat tidur kami.

Sayangnya tenagaku sudah habis untuk melawan penyakit yang terus menggerogoti tubuhku ini. Aku sudah terlalu rapuh. Malam itu, suamiku terus berada menemaniku dikamar rumah sakit.

“Berjanjilah kau akan membuka matamu besok pagi,” ujar nya mencium keningku. Baru kali ini aku melihatnya menangis. Sungguh kutahu dia telah menahannya sejak 2 tahun yang lalu.

“Kau terlalu baik untukku,” ujarku mengusap air matanya.

“Kau salah. Akulah yang sangat beruntung mendapatkan wanita kuat dan selalu tegar sepertimu.”

“Aku sudah berjuang dengan seluruh tenagaku. Jika besok aku tidak bisa melihatmu lagi, berjanjilah satu hal,” ucapku sambil menahan seluruh air mata yang ingin tumpah.

“Jangan berkata seperti itu!.”

“Kumohon…”

“Apa itu sayang?”

“Carilah wanita lain yang bisa membahagiakanmu lebih dari aku dapat membahagiakanmu, kau tahu? Aku sungguh teramat mencintaimu, selama ini engkau begitu baik dan sabar mengurusiku. Carilah wanita yang bisa mencintaimu dan memberikan kau buah hati yang begitu kita idamkan. Jika kau mau melupakanku dan mengubur semua benda kenangan kita, aku rela. Sungguh. Aku hanya ingin melihatmu bahagia, meskipun itu tidak bersamaku.”

“Kau tau alasan ku untuk tetap hidup didunia ini?,” kali ini dia berbicara dengan sedikit begetar.

“Ya?”

Untuk membahagiakanmu. Sejak dulu sebelum menikah, janjiku adalah membahagiakan orang yang paling aku cinta, dan kaulah yang paling kucintai. Tidak ada lagi seorangpun yang dapat menggantikan itu. Membahagiakanmu adalah tugasku, aku sangat mencintaimu.” Dia memelukku sangat erat.

Selama kamu bahagia, aku juga akan bahagia. Begitulah cara aku mencintaimu.”

Aku membalas pelukannya sangat erat. Dan entah mengapa aku merasa sangat lelah dan kali ini aku bisa merasakan kebahagiaan yang belum pernah aku rasakan. Dan dengan itu, aku bisa pergi dengan tenang karena aku tahu selama aku mencintainya aku akan tetap tinggal didalam hatinya, tidak perduli dunia kami sudah berbeda. Aku akan tetap dan terus untuk mencintainya.

No comments:

Post a Comment